Hari Sabtu dan Minggu adalah waktu yang paling ditunggu penggemar bola termasuk saya tentunya. Apalagi semenjak tinggal di P. Bintan siaran sepak bola di TV tidak perlu kuatir di acak lagi seperti saat tinggal di Kuala Tungkal yang harus berlanganan TV kabel untuk untuk menonton liga Inggris.
Setiap menonton sepak bola terkadang fikiran melayang jauh ke masa kecil dahulu saat tinggal di Rantau Kuala Simpang Aceh.. Ketika berlatih dan bertanding sepak bola hanya menggunakan kaki ayam alias “kiyam”.Alangkah indahnya masa kecil dahulu ketika bertanding sepak bola antar RT sebelah, hampir saban hari bertanding…walau skornya kadang gak masuk akal karena skornya bisa seperti pertandingan bola volley saja 24 – 25 dan pertandingan akan selesai kalau azan magrib tiba. Atau setiap tahun diadakan pertandingan resmi antar RT juga, betapa bangganya bisa bermain di lapangna bola orang dewasa dengan rumput hijaunya dan gawang yang diberi jaring…beda amat dengan sepak bola kiyam sehari-hari yang tiang gawangnya hanya ditandai dengan sandal para pemain dan paling kesal sebagai keeper kalau ada tendangan yang dapat ditepis keatas tapi tetap dianggap gol karena mistar atas tidak ada. Begitu seringnya diadakan pertandinngan tapi gak pernah bosan menghadapinya, bahkan tanpa sadar air mata ini meleleh sedih bila sudah berencana bertanding namun batal dilaksanakan.
Yang lebih gila lagi kalau bulan puasa, pertandingan bola bisa dilakukan setelah sahur, dimana lapangan masih gelap mana kawan mana lawan gak tau…yang peting…goooal….Pertandingan berhenti kalau sudah letih tak bersisa lagi….baru terasa beratnya puasa…karena setelah itu kepala harus direndam terus sepanjang hari dalam air atau sesekali masukan kepala ke kulkas biar adem…menunggu buka. Tapi gak masalah mungkin karena beratnya puasa waktu kecil tersebutlah jadi terbiasa setelah besar walau gak sahur tetap mudah saja menjalankannya…karena yang lebih berat waktu kecil sudah di jalani.
SMP masih bertanding sepak bola dengna “kiyam”, sampai suatu saat ada seleksi team sepak bola di Langsa (Aceh Timur) yang mengharuskan menggunakan sepatu bola. Saat itu sangat jarang orang yang punya sepatu bola, putar otak dan cari sana sini akhirnya ketemu sepatu bola punya bang Nasar yang sudah ikut latihan dengan team sepak Bapor Pertamina. Akhirnya dapet pinjaman.
Dengan percaya diri yang tinggi bakal terpilih, karena setahun sebelumnya baru saja menjadi keper team Aceh Timur meraih juara 1 PORSENI propinsi Aceh. Tanpa modal pernah bermain dengan sepatu bola, tanpa adaptasi latihan dengan sepatu bola….maju terus percaya diri…..
Apa daya…rupanya dari sepak bola “kiyam” ke sepak bola beneran dengan sepatu bola beda amat. Diperlukan latihan dan latihan serta adaptasi yang lama di kaki…..skor 8 – 0 jadi saksi ketika banyak bola tak tertangkap karena selalu tersandung saat loncat dan berlari atau tendangan yang jauh sampai ke gawang lawan jadi hilang menjadi tendangan yang sangat dekat dan mengarah kelawan, sehingga lawan dengan mudahnya mencetak goooal………
Sampai saat ini masih banyak kita lihat anak-anak Indonesia bermain bola dengan “kiyam” nah apa karena “kiyam” inikah makanya team sepak bola Indonesia masih melempem sampai saat ini? Karena para pemain yang menghuni team PSSi masih ber adaptasi sampai saat ini dari sepak bola “kiyam” ke sepak bola sebenarnya dengan sepatu bola yang mayoritas produksi luar negri dan dirancang untuk kaki orang luar negri juga? Semoga saja tidak…….karena anak-anak tetap bermain bola dengan “kiyam” karena mereka belum mampu punya sepatu bola. Atau kita berjuang mati-matian agar Piala Dunia kedepan tanpa sepatu alias “kiyam” kayaknya ini lebih realistis ditempuh untuk menuju Piala Dunia.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar